Periodesasi Perkembangan Hadits

On 0 komentar

Hadits periode I (Masa Rasulullah SAW)
Semasa rasulullah saw masih hidup, para sahabat dapat bergaul dengan beliau secara bebas. Para shabat bergaul bersama nabi dirumah, di mesjid, di pasar, di jalan, dalam musyafir, dan tempat-tempat lainnya.

Seluruh perbuatan Nabi diucapkan dan tindak tanduk beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup mereka. Para sahabat menerima hadits (syari’at) dari Rasulullah SAW adakalanya secara langsung, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi Menjawabnya, ataupun Nabi sendiri yang memulai pembicaraannya, tetapi adakalanya mereka menerima secara tidak langsung, yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi jika mereka sendiri malu bertanya.

Diantara para sahabat yang banyak menerima pelajaran dari Nabi SAW, antara lain :

  1. Yang mula-mula masuk Islam yang disebut “As-Sabiqunal Awwalun”, seperti Khulafaur Rasyidin dan Abdullah ibnu Mas’ud.
  2. Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Hurairah, dan yang mencatat seperti Abdullah Amr ibnu Ash.
  3. Yang lama hidupnya sesudah Nabi, sehingga dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas bin Malik dan Abdullah ibnu Abbas.
  4. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu Ummahatul Mu’minin seperti Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar r. a dan Ummu Salamah.
Hadits pada periode II (Masa Khulafaur Rasyidin 10 - 40 H)
Pada waktu khalifah abu bakar, periwayatan hadis belum begitu di perluas. Karena beliau-beliau ini mengerahkan minat umat (shahabat) untuk menyebarkan al-quran dan memerintahkan kepada para shahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat. Perkembangan hadis dan menyebarkan riwayat yang terjadi pada masa sesudah abu bakar dan umar yaitu pada masa khalifah utsaman dan ali r.a.

Cara sahabat Nabi dalam meriwayatkan hadits pada waktu itu ada dua, yaitu :
  1. Adakalanya dengan lafal asli yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi SAW.
  2. Adakalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan hanya dengan makna bukan dengan lafal aslinya, karena mereka dengar dari Nabi SAW.
Hadits pada periode III (Masa sahabat kecil dan tabi’in besar)
Sesudah masa Utsman dan Ali timbullah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan menghafal hadits. Para sahabat menyebar ke masyarakat luas mengadakan perlawatan-perlawatan guna mencari dan mendapatkan hadits.

Dengan demikian meluasnya daerah terirorial hukum islam , para shahabatpun berpindah-pindah ketempat-tempat itu. Karena kota-kota dimana para shahabat bertempat tinggal merupakan tempat mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis, tempat mengeluarkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadis.

Karena kota-kota di mana para sahabat bertempat tinggal merupakan tempat mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, tempat mengeluarkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits. Dalam periode ini terkenallah beberapa orang tokoh sahabat yang mendapat julukan “bendaharawan hadits” yakni orang-orang yang meriwayatkan lebih dari 1.000 hadits, di antaranya :
  1. Abu Hurairah, beliau seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, menurut keterangan ibnu Jauzi dalam “Talqih Fuhumi Ahlil Atsar”, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak 5.364 buah, yang terdapat dalam musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 3.848 hadits.
  2. Abdullah ibnu Umar, beliau meriwayatkan 2.630 buah hadits.
  3. Anas bin Malik, beliau meriwayatkan 2.276 hadits, menurut Al-Kirmany sebanyak 2.236 buah.
  4. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddieq, beliau meriwayatkan 1.660 hadits.
  5. Abdullah ibnu Abbas, beliau meriwayatkan 1.540 hadits.
  6. Abu Sa’id Al-Khudry, beliau meriwayatkan 1.170 hadits.
Pada periode ketiga inilah timbulnya perpecahan dikalangan umat Islam karena soal Khalifah (Pemerintahan/Politik), sehingga terjadinya perang saudara antara Ali cs dengan Muawiyah cs yang membawa banyak korban dikalangan umat Islam.

Dengan terjadinya fitnah ini mengakibatkan terpecahnya umat Islam kepada 3 (tiga) golongan, yaitu :
Pertama : Khawarij, ialah golongan yang menentang Ali dan Muawiyah.
Kedua : Syi’ah, ialah golongan yang sangat fanatik dan bahkan mengkultuskan Ali.
Ketiga : Jumhur, ialah umat Islam yang tidak termasuk golongan I dan golongan II.

Hadits pada periode IV (Abad 11 H = 101 H - 200 H)
Kalau pada periode pertama hijriah, mulai dari zaman Rasul, masa Khalifah empat dan sebagian besar zaman Amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama hijriah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut kemulut.

Ulama pertama yang menghimpunkan dan membukukan hadits atas instruksi Khalifah ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Ubaidillah ibnu Syihab Az-Zuhri, seorang tani’in yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.

Tokoh- tokoh hadits yang muncul pada abad kedua hijrah ini antara lain : Imam Malik, Yahya ibnu Said Al-Qaththan, Waqi’ ibnu Jarrah, Sufyan As-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibnu Hajjaj, Abu Hanifah, Asy-syafi’i dan lain- lain.

Hadits pada periode V (Abad 111 H = Masa mentashihkan hadits)
Pada masa ini pembukuan hadits memiliki 3 (tiga) sistem pembukuan, yaitu :
  1. Pengarang menghimpun semua serangan (celaan) yang dilancarkan oleh ulama-ulama kalam kepada pribadi ulama-ulama hadits. Misalnya : si pulan itu dituduh tidak adil atau tidak dlabith jadi tidak dapat diterima haditsnya, atau ditunjukkan kepada hadits-haditsnya sendiri, misalnya dikatakan hadits-hadits itu mengandung khurafat atau bertentangan dengan dalil lain yang labih kuat dan sebagainya. Diantara ulama yang mengarang dengan sistem ini adalah Ibnu Qataibah (w. 234 H) dan Ali bin Al-Madani (w. 234 H).
  2. Pengarang menghimpun hadits secara “Musnad”, yakni menghimpun hadits-hadits Nabi dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya (isi haditsnya) dan kualitasnya (shahih, hasan dan dhaif), misalnya semua hadits Nabi yang melalui Aisyah dikelompokkan dengan judul “hadits-hadits Aisyah” meskipun menurut hadits-hadits yang berbeda-beda masalahnya. Diantara kitab-kitab hadits yang disusun dengan cara seperti ini yaitu Musnad Ahmad bin Hanbal (104 - 241 H) dan Musnad Ahmad ibnu Rahawih (161 - 238 H).
  3. Pengarang menghimpun hadits-hadits secara bab perbab seperti kitab fiqh dan tiap-tiap bab memuat hadits-hadits yang sama maudlu’nya (masalahnya), misalnya bab shalat, bab zakat dan sebagainya. Dan dalam hal ini ada dua macam yaitu : Pertama, Hanya menghimpunkan hadits-hadits shahih saja. Kedua, Disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits-hadits hasan dan dhaif.
Hadits pada periode VI (Awal-awal IV H sampai 656 H = Masa tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami, zawaid dan athraf)
Ulama-ulama hadits pada abad kedua dan ketiga disebut “Ulama Mutaqaddimin”, yang mengumpulkan hadits semata-mata berperang. Setelah abad keriga berlalu, bangkitlah pujangga-pujangga abad keempat dan seterusnya yang disebut “Ulama Mutaakhirin”, kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau kutipan dari kitab-kitab mutaqaddimin itu, sedikit saja dari padanya dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.

Kalau pada abad ketiga seperti Bukhari, Muslim dan Imam-imam lain telah berhasil menghimpun sejumlah hadits-hadits shahih, pada abad keempat para ulama telah berhasil pula mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab shahih sebelumnya.

Usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini ialah :
  1. Mengumpulkan hadits-hadits Bukhari Muslim dalam sebuah kitab.
  2. Mengumpulkan hadits-hadits enam.
  3. Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits.
  4. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf. Diantara kitab-kitab Athraf ini antara lain :
  • Athrafush-Shahihaini oleh Ibrahim Ad-Dimasqy (400 H).
  • Athrafush-Sunanil Arba’ah oleh Ibnu Asakir Ad-Dimasqy (571 H).
  • Athraful-Kutubis Sittah oleh Muhammad ibnu Tahir Al-Maqdisy (507 H) dan lain sebagainya.
Hadits dalam periode VII (656 H - sekarang)
Setelah kota Baghdad jatuh pada tahun 656 H ke tangan bangsa Tartar, maka pindahlah pemerintahan Abbasiyah ini ke Kairo (Mesir), tetapi khalifahnya hanya sebagai simbol saja. Sementara yang berkuasa pada hakikatnya adalah raja Mesir dari Mamalik. Pada abad VII H, Turki telah dapat menguasai daerah-daerah bagian Barat (Maroko) dan sebagainya.

Islam ketika itu tidak lagi meneliti tentang pribadi-pribadi hadits (sanad), bahkan sanad itu dipelajari atau dibaca sekedar untuk mendapat berkahnya (tabarruk). Kendati demikian keadaannya, namun masih ada beberapa ulama yang sanggup dan berani melawat ke daearah-daerah Islam dan tempat-tempat yang mereka kunjungi, mereka memberikan imla’ul hadits.
Pada masa ini ada tiga daerah yang menjadi perhatian umat Islam tehadap sunnah, yaitu Mesir, India dan Saudi Arabia.

Referensi:
Hanafiah, M. Muhari, M. Pengantar Study Sumber Hukum Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. Banjarmasin. 2007.

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

Most Popular Article