Perang Padri

On 1 komentar

Perang Paderi terjadi antara tahun 1803 hingga 1838. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda. Jalannya Perang Paderi dapat dibagi menjadi 3 tahapan, berikut:

  1. Tahap I, tahun 1803 – 1821

  2. Ciri perang tahap pertama ini adalah murni perang saudara dan belum ada campur tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda. Perang ini mengalami perkembangan baru saat kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Sejak itu dimulailah Perang Paderi melawan Belanda.
  1. Tahap II, tahun 1822 – 1832

  2. Tahap ini ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum Paderi yang makin melemah. Pada tahun 1825, berhubung dengan adanya perlawanan Diponegoro di Jawa, pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru. Kekuatan militer Belanda terbatas, dan harus menghadapi dua perlawanan besar yaitu perlawanan kaum Paderi dan perlawanan Diponegoro. Oleh karena itu, Belanda mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kaum Paderi. Perjanjian tersebut adalah Perjanjian Masang (1825) yang berisi masalah gencatan senjata di antara kedua belah pihak. Setelah Perang Diponegoro selesai, Belanda kembali menggempur kaum Paderi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ellout tahun 1831. Kemudian, disusul juga oleh pasukan yang dipimpin Mayor Michiels.
  1. Tahap III, tahun 1832 – 1838

  2. Perang pada tahap ini adalah perang semesta rakyat Minangkabau mengusir Belanda. Sejak tahun 1831 kaum Adat dan kaum Paderi bersatu melawan Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.

Pemicu terjadinya perang padri adalah terjadinya pepecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.

Perang berakhir pada tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan tertangkapnya Imam Bonjol pada tahun 1837.

Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838. Alam Minangkabau menjadi bagian dari pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842, pemberontakan Regent Batipuh meletus.

Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van der Capellen di Batusangkar.

Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Haji Be Di Bonjol dengan pertahanan enam meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit.

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.

Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.

Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.

Sumber:
http://matahari.net63.net/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=1
http://www.g-excess.com/id/perlawanan-menentang-penjajah-perang-paderi-1803%E2%80%931838.html

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

perang padri menimbulkan banyak korban

Posting Komentar

Buku Tamu

Most Popular Article